
Bagi jutaan umat Muslim, Ka’bah adalah kiblat spiritual dan titik pusat ibadah. Saat melaksanakan tawaf, pandangan mata dan hati akan tertuju pada satu sudut istimewa di Ka’bah, yaitu tempat Hajar Aswad berada. Menyentuh, atau idealnya, mencium batu mulia ini adalah dambaan setiap jemaah. Memahami keutamaan mencium Hajar Aswad bukan sekadar mengejar tradisi, tetapi sebuah upaya menghidupkan sunnah dan meraih fadhilah agung yang terkandung di dalamnya.
Artikel ini akan mengupas tuntas makna, sejarah, dan keistimewaan Hajar Aswad, serta bagaimana amalan ini dapat menyempurnakan ibadah kita.
Apa Sebenarnya Hajar Aswad Itu?
Sebelum menyelami keutamaannya, kita perlu memahami apa itu Hajar Aswad. Hajar Aswad, yang berarti “Batu Hitam”, bukanlah batu biasa. Ia tertanam di Rukun Yamani, sudut timur Ka’bah, dan menjadi penanda titik awal (start) dan akhir putaran tawaf.
Dalam berbagai riwayat hadis, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa batu ini berasal dari surga. Sebuah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menyebutkan:
“Hajar Aswad turun dari surga, warnanya lebih putih dari susu, dan dosa-dosa anak Adamlah yang membuatnya menjadi hitam.” (HR. Tirmidzi)
Keyakinan ini menegaskan bahwa Hajar Aswad memiliki kedudukan mulia. Ia adalah “kepingan” surga yang Allah letakkan di bumi, menjadi saksi bisu perjalanan tauhid sejak zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Mengungkap Keutamaan Mencium Hajar Aswad Sesuai Sunnah
Mencium Hajar Aswad memiliki landasan syariat yang kuat, yakni mengikuti perbuatan (ittiba’) Rasulullah ﷺ. Namun, di balik itu, tersimpan fadhilah atau keistimewaan yang luar biasa.
Meneladani Sunnah Nabi (Ittiba’ ar-Rasul)
Keutamaan tertinggi dari mencium Hajar Aswad adalah dalam rangka meneladani perbuatan yang paling dicintai Allah, yaitu mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ.
Sikap ini tercermin jelas dalam perkataan Sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Ketika beliau mencium Hajar Aswad, beliau berkata:
“Sesungguhnya aku tahu, engkau hanyalah batu yang tidak memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah ﷺ menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkataan Umar ini adalah pelajaran tauhid yang lurus. Umat Muslim mencium Hajar Aswad bukan karena menyembah batu tersebut, melainkan murni karena cinta dan ketaatan dalam mengikuti jejak Rasulullah ﷺ.
Batu Surga yang Akan Menjadi Saksi di Hari Kiamat
Inilah salah satu fadhilah terbesar yang didambakan jemaah. Hajar Aswad bukan sekadar benda mati. Kelak, di hari penghakiman, Allah akan memberinya kemampuan untuk bersaksi bagi siapa saja yang pernah menyentuh atau menciumnya dengan kebenaran.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Demi Allah, Allah akan membangkitkannya (Hajar Aswad) pada hari kiamat. Ia memiliki dua mata yang dapat melihat dan lisan yang dapat berbicara. Ia akan memberikan kesaksian kepada siapa saja yang telah mengusapnya dengan haq (kebenaran).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Bayangkan, di hari saat semua amalan ditimbang, sebuah batu dari surga maju menjadi saksi pembela di hadapan Allah untuk kita.
Menjadi Penggugur Dosa
Tawaf di Ka’bah adalah ibadah yang sarat dengan ampunan. Menyentuh dua rukun di Ka’bah, yakni Rukun Yamani dan Hajar Aswad, secara spesifik disebut dapat menghapuskan dosa-dosa.
Sebagaimana hadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) dapat menghapuskan dosa-dosa.'” (HR. Tirmidzi)
BACA JUGA: Memaknai Hadits Tentang Larangan Marah dan Keutamaannya, Bukan Sekadar Emosi
Tata Cara dan Adab Berinteraksi dengan Hajar Aswad
Meskipun keutamaannya sangat besar, penting untuk memahami bahwa hukum mencium Hajar Aswad adalah sunnah, bukan wajib. Ibadah tawaf tetap sah meskipun seseorang tidak berhasil menciumnya.
Bacaan Saat Melewati Hajar Aswad
Setiap kali melewati atau sejajar dengan Hajar Aswad saat tawaf, jemaah disunnahkan untuk bertakbir. Lafal yang diucapkan adalah:
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ
(Bismillāhi Allāhu Akbar)
Artinya: “Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar.”
Istilam dan Isyarat: Pilihan saat Situasi Padat
Kondisi Masjidil Haram yang hampir selalu padat membuat upaya mencium Hajar Aswad menjadi sangat sulit, bahkan terkadang membahayakan.
Agama Islam tidak menuntut sesuatu di luar kemampuan. Jika kondisi memungkinkan tanpa menyakiti orang lain, berikut adalah urutannya:
- Menciumnya (taqbil).
- Jika tidak mampu, menyentuhnya dengan tangan, lalu mencium tangan tersebut (istilam).
- Jika tidak mampu, menyentuhnya dengan tongkat atau benda lain, lalu mencium benda tersebut.
- Jika semua tidak mampu, cukup memberi isyarat dengan tangan (isyarat) dari kejauhan sambil mengucapkan takbir.
Mengejar keutamaan mencium Hajar Aswad dengan cara saling mendorong, menyikut, atau menyakiti jemaah lain adalah perbuatan keliru yang dilarang. Mendapatkan yang sunnah tidak boleh mengorbankan yang wajib (menjaga keselamatan diri dan orang lain).
Menyempurnakan Pahala: Menanam Kebaikan di Luar Tanah Suci
Meraih keutamaan di Tanah Suci adalah impian setiap Muslim. Semangat berkorban, mengejar sunnah, dan mendekatkan diri kepada Allah yang kita rasakan saat tawaf sejatinya adalah latihan spiritual yang harus kita bawa pulang.
Menyentuh Hajar Aswad adalah simbol kecintaan. Kecintaan ini dapat kita wujudkan dalam bentuk amalan saleh lainnya di mana pun kita berada. Menanam kebaikan tidak terbatas oleh jarak dan waktu.
Bagi Anda yang rindu menyempurnakan amalan dan menanam kebaikan yang pahalanya terus mengalir (amal jariyah), Yayasan Syekh Ali Jaber membuka pintu kebaikan melalui program-program sedekah. Sebagaimana kita berlomba menyentuh Hajar Aswad, mari kita berlomba dalam kebaikan untuk membantu sesama.
Anda dapat menyalurkan sedekah terbaik Anda untuk mendukung program-program Al-Qur’an dan kemanusiaan melalui Yayasan Syekh Ali Jaber.
Semoga setiap langkah kita, baik di Tanah Suci maupun di Tanah Air, selalu dalam bingkai ketaatan untuk meraih ridha Allah Ta’ala.

